Makna Kalimat سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا
بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ
اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ
دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ
دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ
اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ
الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ
اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ
بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Maha Suci Allah Yang Maha melihat dan memanatu setiap lintasan
pemikiran hamba-hambaNya, Yang Maha Mengetahui jumlah hari-hari yang
tersisa bagi setiap hamba-hambaNya, Maha Mengetahui jumlah nafas
hamba-hambaNya sejak dilahirkan hingga mereka wafat, dimana kita semua
tidak mengetahui akan hal itu, tidak mengetahui akan jumlah siang yang
tersisa dalam kehidupan kita, dan berapa jumlah malam yang tersisa dalam
kehidupan kita, tidak mengetahui berapa jumlah nafas yang telah lewat
serta nafas yang masih tersisa, tidak mengetahui pula kapan berakhirnya
nafas kita, dan semoga berakhir dalam kemuliaan khusnul khatimah, amin
allahumma amin.
Maha Suci Allah Yang Maha mensucikan hamba-hambaNya, sehingga
diberikanlah kepada mereka sedemikian banyak bentuk ibadah dan berbagai
macam amal baik secara zhahir atau bathin, agar kita sampai pada
kehidupan yang abadi dalam kebahagiaan serta dijauhkan dari kesulitan
dan kesedihan, sehingga dalam kehidupan di dunia dan setiap nafas kita
tiada henti-hentinya dicatat oleh malaikat Munkar dan Nakir, dimana jika
seseorang memiliki azam (keinginan) untuk berbuat baik maka telah
ditulis pahala baginya sebelum ia berbuat, dan jika ia melakukannya maka
pahala amal baik tersebut dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat hingga
700 kali lipat.Namun jika seseorang berniat untuk berbuat buruk, maka
tidak dituliskan baginya dosa kecuali setelah ia melakukannya, yang mana
jika ia melakukannya maka ia akan mendapatkan satu balasan dosa dan
tidak dilipatgandakan seperti balasan seseorang yang berniat untuk
berbuat baik, disinilah makna keadilan Allah subhanahu wata’ala Yang
Maha Adil dengan kebijaksanaan yang indah dan penuh kasih sayang.
Dimana keadilan yang berlaku dianatara sesama makhluk adalah memberi
balasan atas kebaikan yang dilakukan dengan balasan yang setara, namun
keadilan Allah subhanahu wata’ala adalah dengan memberi satu balasan
atas satu perbuatan dosa, dan memberi pahala 10 kali hingga 700 kali
lipat atau lebih untuk satu perbuatan baik, dimana jika seorang hamba
muncul dalam dirinya keinginan untuk berbuat buruk maka malaikat tidak
diperintah untuk mencatatnya hingga ia melakukannya yang kemudian
ditulis dengan satu dosa, namun jika seorang hamba berkeinginan berbuat
baik maka diperintah untuk ditulis dengan 10 pahala hingga 700 pahala
bahkan lebih yang mana hal itu tergantung akan kemuliaan niat tersebut.
Sebagaimana hadir majelis di tempat ini minimal akan mendapatkan
pahala 10 kali lipat, seperti bershalawat kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam atau berdzikir dan lainnya pahala perbuatan itu bisa
mencapai 10 hingga 700 kali lipat bahkan lebih, dengan kehendak Allah
subhanahu wata’ala Yang Maha Adil dengan kelembutan, Yang telah
berfirman dalam hadits qudsi :
إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي
“ Sesungguhnya rahmatKu (kasih sayangKu) mengalahkan kemurkaanKu”
Maka hal apa yang telah membuat kita tidak meninggalkan perbuatan
dosa atau perbuatan yang dilarang dan dihinakan Allah subhanahu
wata’ala, serta menghindari dan meninggalkan hal-hal yang telah
diperintah oleh Allah subhanahu wata’ala, sedangkan Allah subhanahu
wata’ala telah berlemah lembut dan berkasih sayang kepada
hamba-hambaNya, bahkan bagi mereka yang telah banyak berbuat dosa
diantara mereka wafat dalam keadaan husnul khatimah yang disebabkan
karena ia sering hadir di majelis dzikir, namun hadir di majelis dzikir
tentunya bukan berarti hal itu akan menutup semua dosa sehingga
seseorang tidak perlu melakukan ibadah yang lainnya, justru kehadiran di
majelis ta’lim atau di majelis dzkir dan shalawat, hal itu akan
membangkitkan keinginan kita untuk semakin banyak berbuat baik, serta
melemahkan keinginan kita untuk berbuat buruk, sehingga menjadikannya
semakin dekat kepada Yang Maha Dekat, Allah subhanahu wata’ala.
Hadirin yang dimuliakan Allah, Di bulan Jumadil Awal ini kita
mengingat peristiwa perang Mu’tah yang terjadi pada tahun ke-8 H,
sebagaimana hadits yang kita baca bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan 3000 pasukan muslimin yang dipimpin oleh
sayyidina Zaid Bin Haritsah untuk menuju ke wilayah Mu’tah, yang saat
ini termasuk ke dalam wilayah Yordan, sekitar 3 atau 4 jam dari arah
Amman Jordan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyampaikan bahwa jika sayyidina Zaid bin Haritsah wafat, maka bendera
perang akan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib (kakak sayyidina Ali bin
Abi Thalib kw), dan jika Ja’far wafat maka bendera perang
(kepemimpinan) akan dipegang oleh Abdullah bin Rawahah”.
Maka berangkatlah 3000 pasukan muslimin menuju medan Mu’tah, dan
ketika mereka akan meninggalkan benteng kota Madinah, yang diiringi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla dan para sahabat yang tidak
berangkat ke medan Mu’tah, ketika telah keluar dari benteng Madinah maka
sayyidina Abdullah bin Rawahah berbalik arah dengan kudanya, sehingga
orang-orang yang melihatnya merasa heran dan kaget, karenan mundur dari
jihad adalah sesuatu yang sangat tercela dan hina, kemudian setelah ia
berbalik arah dan kembali ke benteng Madinah lalu ia turun dari kudanya
lantas mendekati dan memeluk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk pamit kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia
kembali menaiki kudanya lalu menyusul pasukan muslimin.
Kemudian para sahabat bertanya kepada sayyidina Abdullah bin Rowahah
mengapa ia berbalik arah dan kembali ke benteng Madinah, maka ia
menjawab : “Aku kembali ke Madinah untuk menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan memeluk serta mencium beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam, karena aku berfirasat bahwa aku tidak akan
kembali ke Madinah Al Munawwarah dan akan meninggal syahid di medan
Mu’tah”.
Kemudian mereka pun berangkat dan ketika sampai di suatu tempat
(Balqa’), kelompok muslimin mengirim utusan untuk memantau dan
mengetahui kekuatan musuh dari pasukan Romawi yang sedang merapat di
pantai dan menuju ke medan Mu’tah, dan saat itu disampaikan bahwa jumlah
pasukan Romawi yang berkuda dengan memakai baju besi dan dengan
persenjataan dan lengkap mereka berjumlah 100.000 pasukan, serta diikuti
oleh kabilah-kabilah lainnya yang mana mereka juga memusuhi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga para sahabat berselisih pendapat
yang mana diantara mereka memilih untuk mundur sebab jumlah pasukan
musuh yang sangat banyak, dan diantara mereka berkata untuk mengirimkan
surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan
hal tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan apa yang
harus mereka perbuat apakah terus maju atau memilih mundur, namun
sahabat yang lain berkata untuk menyampaikan kabar kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk mengirim pasukan tambahan, sehingga sayyidina Abdullah
bin Rawahah berkata bahwa keberangkatan kaum muslimin ke medan Mu’tah
bukan dengan tujuan untuk kalah atau menang, namun dikarenakan hal itu
adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, syahid di medan
perang atau kembali dengan kemenangan, mendengar ucapan tersebut para
sahabat pun terdiam kemudian mereka berangkat melanjutkan perjalanan ke
medan Mu’tah untuk menghadapi 100.000 pasukan Romawi dan kabilah-kabilah
lainnya.
Di saat itu sayyidina Zaid bin Haritsah adalah pemimpin peperangan
yang pertama, mulai maju dan terus menyerang dan menghantam musuh
semampunya, namun belum tiba waktu dhuha ia pun jatuh terbunuh, yang
kemudian bendera peperangan diambil oleh sayyidina Ja’far bin Abi Thalib
sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia
pun terus maju melawan musuh. Sayyidina Ja’far adalah seorang yang
sangat hebat dan memiliki keahlian dalam peperangan, sehingga tidak ada
dari pasukan Romawi atau kabilah-kabilah yang mendekat kepadanya kecuali
akan terlempar kepalanya. Sehingga pasukan romawi kebingungan
menghadapi sayyidina Ja’far yang menjadi pemimpin perang di saat itu
karena ketangkasannya yang luar biasa, kemudian mereka berusaha membuat
jebakan untuk sayyidina Ja’far bin Abi Thalib yaitu dengan membuka dan
memberi jalan agar sayyidina Ja’far menuju ke tengah-tengah pasukan
Romawi, lalu ketika sayyidina Ja’far sampai di tengah-tengah pasukan
maka mereka mengepung sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, namun demikian
beliau terus berputar dan melawan musuh-musuh dengan pedangnya, dan
dalam keadaan itu pun tetap tidak ada seorang pun dari pasukan Romawi
atau kabilah-kabilah lainnya yang mendekat kepada sayyidina Ja’far bin
Abi kecuali kepala mereka akan terlepas dari jasadnya.
Lalu mereka membuat siasat baru yaitu dengan menjauh dari sayyidina
Ja’far bin Abi Thalib dan hanya melemparinya dengan panah dan tombak
dari kejauhan, sehingga beliau mendapati serangan panah atau tombak dari
segala penjuru, namun beliau tetap melawan serangan-serangan tersebut
dan tidak ada satu panah atau satu tombak pun yang mengenai tubuh beliau
dari arah depan karena beliau dapat menangkisnya, namun beliau tidak
bisa menangkis serangan yang datang dari arah belakang, sehingga di saat
itu sayyidina Ja’far mulai merasa lemah karena serangan anak panah atau
tombak sebanyak kurang lebih 99 tusukan yang mengenai punggung beliau
akan tetapi beliau masih tetap tegak di atas kudanya, maka ketika itu
beliau mulai mencari sayyidina Abdullah bin Rowahah untuk menyerahkan
bendera perang kepadanya, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, namun setelah pasukan musuh mengetahui bahwa sayyidina
Ja’far mulai melemah maka pasukan musuh pun menyerangnya dengan pedang
kemudian memotong tangan sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, namun karena
beliau tidak ingin melepas pedang yang di tangannya dan tidak juga mau
melepas bendera perang dari tangannya maka ia pun mengapit bendera itu
dengan tangannya yang telah terpotong, dan ia terus berperang melawan
musuh sampai akhirnya kudanya terjatuh karena telah lemah dan kehabisan
kekuatan sebab banyaknya serangan ke arahnya, maka sayyidina Ja’far bin
Abi Thalib pun berperang tanpa menunggangi kuda, dan pasukan musuh terus
menyerangnya hingga akhirnya memotong lagi tangan sayyidina Ja’far bin
Abi Thalib, sehingga ia harus memilih antara melepas pedang atau melepas
bendera perang, dan beliau memilih untuk melepaskan pedang daripada
melepas panji sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga
beliau mengapit bendera itu ke dada beliau dengan kedua tangannya yang
terpotong sampai ke siku, lalu beberapa saat kemudian pasukan musuh
memotong kepala beliau namun tubuh itu tetap tegak memeluk panji
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kedua tangan yang telah
terpotong dan kepala yang telah terlepas dari tubuhnya, dan setelah
bendera itu diambil oleh sayyidina Abdullah bin Rowahah maka tubuh itu
pun terjatuh ke bumi, sebab tubuh itu tidak rela jika panji Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam terjatuh ke bumi, maka sayyidina Abdullah
bin Rowahah kembali melanjutkan peperangan namun tidak lama kemudian
beliau pun wafat dalam peperanga tersebut.
Dan di saat itu telah banyak serangan dan hantaman yang dilakukan
oleh sayyidina Zaid bin Haritsah yang pertama memimpin peperangan, yang
kemudian dilanjutkan oleh sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, kemudian
dilanjutkan oleh sayyidina Abdullah bin Rowahah. Ketiga pemimpin
peperangan yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kesemuanya telah wafat, maka dalam keadaan demikian kaum
muslimin saling memandang siapakah yang akan menjadi pemimpin perang
setelah ketiga pemimpin itu wafat, dan mereka menunjuk sayyidina Khalid
Ibn Al Walid untuk memimpin perang karena beliau lah satu-satunya yang
memilki keahlian dalam strategi perang, namun beliau menolak sebab tidak
ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya
untuk menjadi pemimpin perang, namun para sahabat memaksanya sebab tidak
ada lagi orang lain yang bisa memimpin peperangan ini kecuali engkau
wahai Khalid, maka sayyidina Khalid pun memegang panji Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan memimpin peperangan dengan strategi
perang yang dahsyat dan sangat hebat, sehingga pasukan Romawi dan para
kabilah yang lainnya mulai mundur dan terpecah belah.
Maka sayyidina Khalid bin Walid memerintah pasukan muslimin untuk
berhenti memerangi musuh, namun diantara mereka tetap memilih untuk
melanjutkan perang untuk memusnahkan semua pasukan musuh, maka sayyidina
Khalid Bin Walid pun kembali dengan pasukan muslimin yang tersisa. Dan
ketiga pemimpin yang wafat di peperangan tersebut ; sayyidina Zaid bi
Haritsah, sayyidina Ja’far bin Abi Thalib dan sayyidina Abdullah bin
Rowahah, mereka dimakamkan di medan Mu’tah.
Saya pernah berziarah ke medan Mu’tah yaitu sebuah lapangan luas yang
di tengah-tengah lapangan tersebut terdapat Universitas Mu’tah,
disampaikan oleh penduduk di sekitar wilayah Mu’tah bahwa sebelum
Universitas tersebut dibangun, di setiap hari Jum’at selesai shalat
Subuh terdengar suara aduan senjata, dan teriakan-teriakan kesakitan
serta suara takbir, dan hal tersebut terjadi setiap selesai Shalat Subuh
di hari Jum’at, hingga setelah Universitas Mu’tah itu dibangun maka
suara itu pun tidak lagi terdengar. Suara-suara yang menunjukkan
kejadian perang Mu’tah itu terus menggema hingga di zaman ini, padahal
kejadian tersebut terjadi pada 14 abad yang silam, hal ini menunjukkan
bahwa lambang dakwah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak akan pernah sirna.
Ketika peperangan berlangsung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika itu sedang duduk bersama para sahabat di Madinah,
tiba-tiba beliau terdiam dan berkata : “Zaid bin Haritsah telah syahid”, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kembali berbicara lalu terdiam dengan raut wajah yang berubah lantas berkata : “Ja’far bin Abi Thalib telah terkena (syahid)”,
yang mungkin beliau menyaksikan keadaan sayyidina Ja’far ketika wafat,
dimana kepala dan kedua tangannya terpotong dan tubuhnya dipenuhi dengan
99 tancapan anak panah dan tombak di belakang tubuhnya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Abdullah bin Rowahah syahid”, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam dan berkata : “Wa’alaika assalam ya Ja’far”, mendengar ucapan tersebut para sahabat bertanya : “Apa yang terjadi wahai Rasulullah ?”, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Ja’far
bin Abi Thalib pamit dan mengucapkan salam kepadaku dan ia telah diebri
dua sayap sebagai ganti dari kedua tangannya yang terpotong, dan ia
sedang dibawa oleh para malaikat untuk menuju surga Allah subhanahu
wata’ala” .
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اِصْنَعُوْا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا
“ Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan”
Sebab keluarga dan kerabat sayyidina Ja’far berjumlah banyak, agar
mereka tidak disibukkan dengan membuat makanan untuk para tamu yang
datang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah para
shahabat untuk memasak makanan untuk keluarga sayyidina Ja’far. Hal ini
juga merupakan dalil bahwa acara tahlilan boleh dihidangkan makanan di
dalamnya. Dan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud
memberikan makanan hanya untuk keluarga sayyidina Ja’far yaitu hanya
untuk istri dan dua anak beliau, maka pastinya Rasulullah hanya meminta
salah satu dari para sahabat atau dari istri beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk membuatkna makanan itu, namun karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa ada banyak orang yang akan
mendatangi keluarga sayyidina Ja’far maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam meminta para sahabat untuk membuatkan makanan untuk keluarga
sayyidina Ja’far, maka hal ini merupakan dalil yang jelas bahwa acara
tahlilan yang dilakukan di zaman ini adalah hal yang diperbolehkan, dan
juga dikarenakan ketika para sahabat datang dan berkumpul di rumah
sayyidina Ja’far mereka tidak berkumpul dan datang untuk berbincang atau
bercanda, namun mereka datang untuk takziyah dan berdzikir atau membaca
Al qur’an.
Bahkan Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa ia menemukan
riwayat yang tsiqah (kuat) bahwa ketika sayyidina Umar bin Khattab Ra
dalam keadaan sakaratul maut, beliau berkata kepada salah seorang
sahabat untuk membuatkan makanan selama tiga hari untuk tamu-tamu yang
datang untuk takziyah. Jadi tahlilan disediakannya makanan oleh keluarga
yang telah wafat dalam acara tahlilan jika mereka adalah orang yang
mampu maka hal itu adalah hal yang baik, namun jika keluarga itu adalah
orang yang tidak mampu maka sebaiknya orang yang datang membawa makanan
atau hal lain yang dapat meringankan beban keluarga yang wafat. Namun
memakan makanan yang disediakan dalam acara tahlilan sama sekali tidak
ada larangannya dari Allah subhanahu wata’ala karena hal demikian juga
diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat.
Hadirin yang dimuliakan Allah, Perang Mu’tah yang terjadi pada bulan
Jumadil Awal tahun 8 H adalah jihad untuk Islam, dan jihad it uterus
berlangsung hingga di zaman ini namun dengan jihad yang berbeda,
sebagaimana bentuk ibadah tidak hanya jihad saja, dan hal yang paling
utama bukanlah menyelamatkan ummat dari gencatan senjata, akan tetapi
yang paling utama adalah menyelamatkan ummat dari api neraka. Oleh sebab
itu, kita yang berada di zaman sekarang diantara jihad kita adalah
tabah dan bersabar, jika misalnya seseorang mengajak orang lain untuk
hadir ke majelis ta’lim kemudian ditolak atau diejek dan lainnya karena
memakai pakaian yang islami, maka bersabarlah karena hal itu merupakan
jihad dengan hawa nafsu.
Maka janganlah disibukkan untuk memikirkan dengan jihad kesana
kemari, sebab di dalam rumah kita sendiri atau bahkan dalam diri kita
sendiri banyak hal-hal munkar yang harus kita perbaikia namun kita
membiarkannya. Sebagaimana betapa banyak ummat Islam yang masih belum
melakukan shalat 5 waktu, negeri ini adalah negara muslimin terbesar,
jika demikian keadaan negara Islam terbesar di dunia, maka bagaimana
keadaan negara yang lain, dan begitu banyak juga ummat Islam yang tidak
menunaikan puasa Ramadhan, dan masih banyak ummat Islam yang belum
menunaikan zakat, begitu banyak orang yang terjebak dalam perbuatan
dosa, hal-hal seperti inilah yang seharusnya kita perhatikan, karena
menyelamatkan saudara kita dari kemurkaan Allah subhanahu wata’ala lebih
utama daripada menyelamatkan mereka dalam kehidupan di dunia, namun
bukan berarti kita melupakan saudara-saudara kita yang berada jauh dari
kita, akan tetapi sebaiknya kita memikirkan wilayah dan orang-orang
terdekat kita dari keluarga, kerabat, teman atau tetangga, serta
mengajak mereka dalam keluhuran sebisa mungkin. Seperti mendidik anak
kecil untuk mulai melakukan shalat, dengan membangunkan mereka di waktu
subuh hingga ia terbiasa dengan hal itu, mengajarinya mereka membaca Al
qur’an, mengumandangkan adzan dan lainnya, maka perindahlah rumah dan
keluarga kita dengan keluhuran untuk mendapatkan ridah Allah subhanahu
wata’ala, setelah hal-hal demikian terwujudkan barulah kita beralih
memikirkan keadaan di luar wilayah kita.
Sebagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah hijrah ke
Madinah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar dari Madinah
untuk berdakwah menyampaikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
sebelum agama Islam tersebar dan berjalan baik di Madinah Al Munawwarah.
Syarh kitab Ar Risalah Al Jaami’ah
Pembahasan kita dalam kitab Ar Risaalah Al Jaami’ah masih dalam lafadz : وصلى الله على سيدنا محمد , yang lalu telah kita bahas tentang kalimat “Sayyidina” dan kalimat “Muhammad”
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap
huruf hijaiyyah terdapat nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Majelis yang lalu tentang penjelasan nama nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dalam huruf hijaiyah sampai pada huruf syin (ش) yang diantara nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah شكور : Syakuur (yang banyak bersyukur), kemudian huruf shad (ص) yaitu صبور
: Shabuur ( yang sangat bersabar), dimana beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah orang yang paling bersabar dari semua orang yang
penyabar, kemudian huruf dhaad (ض) diantaranya adalah ضحى : Dhuhaa (cahaya pagi), sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَالضُّحَى ، وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ، مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
، وَلَلْآَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى ، وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ
رَبُّكَ فَتَرْضَى ، أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى ، وَوَجَدَكَ
ضَالًّا فَهَدَى ، وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى ، فَأَمَّا الْيَتِيمَ
فَلَا تَقْهَرْ ، وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ ، وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ( الضحى : 1-11 )
“Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap
gulita),tidaklah Tuhanmu meninggalkanmu dan tidak (juga) membencimu, dan
sesungguhnya (kehidupan) akhirat lebih baik bagimu dari permulaan
(dunia), dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu hingga
(hati) kamu menjadi puas (ridha), bukankah Dia (Allah) telah mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk, dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan (fakir), lalu Dia memberikan
kecukupan (kepadamu), .Adapun terhadap anak yatim janganlah kamu
berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang meminta-minta maka
janganlah kamu menghardiknya, dan terhadap nikmat Tuhanmu maka
hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. ( QS. AD Dhuha 1-11)
Diantara ahli tafsir menafsirkan bahwa kalimat الضُّحَى adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kalimat وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
(Demi malam yang gelap gulita) yang dimaksud adalah keadaan hati
sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang gelisah dan
gundah, karena makna kalimat kegelapan juga ditafsirkan dengan makna
kesedihan atau kegundahan, dimana ketika suatu waktu nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam merasa sedih karena di saat itu dalam waktu
yang lama tidak turun ayat dari Allah subhanahu wata’ala kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas ketika itu ada seorang wanita yang
menghina beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah sembuh dari penyakit yang
tidak waras sebab beliau tidak lagi menyampaikan ayat-ayat Al qur’an
yang mana orang-orang kafir menganggapnya sebagai kalimat-kalimat yang
aneh, maka mendengar hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam merasa sedih dan mengira bahwa wahyu Allah kepadanya telah
terputus, hingga ketika itu turunlah surat Ad Dhuha.
Dan sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf dhaad (ض) . Kemudian nama nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari huruf Thaa’ (ط) diantaranya adalah طاهر : Thaahir ( yang suci), atau ?? : Thaaha, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
طه ، مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى ( طه : 1-2 )
“Thaahaa, kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. ( QS. Thaaha: 1-2 )
Sebagaimana banyak para Ulama’ yang berpendapat bahwa Thaaha adalah
nama nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian nama nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari huruf Zhaa’ (ظ) diantaranya adalah ظاهر :
Zhaahir (yang tampak/terlihat), yang mana beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam tampak sebelum segala sesuatu tercipta, dimana makhluk yang
pertama diciptakan adalah cahaya sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan ke
dunia maka beliau pun tampak dan terlihat oleh mata sebagai makhluk yang
paling mulia, dan setelah beliau wafat pun masih banyak orang yang
menjumpai beliau baik dalam keadaaan jaga atau tidur .
Disebutkan dalam salah satu riwayat Shahih Al Bukhari, bahwa ketika
mayat dimasukkan ke dalam kubur dan semua orang yang mengantarnya ke
kuburan telah pulang, maka ketika itu datanglah dua malaikat yang
menanyakan kepada mayyit tersebut akan pengetahuannya tentang nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana orang yang beriman dan
yang shalih akan menjawab :
هُوَ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى فَأَجَبْنَا وَاتَّبَعْنَا هُوَ مُحَمَّدٌ
“ Dia (adalah) Muhammad utusan Allah, yang datang dengan (membawa)
kebenaran dan petunjuk dan kami menjawab dan mengikutinya, dia adalah
Muhammad”
Maka malaikat pun berkata :
نَمْ صَالِحًا قَدْ عَلِمْنَا إِنْ كُنْتَ لَمُوْقِنًا بِهِ
“ Tidurlah dengan tenang, kami telah mengetahui bahwa engkau meyakininya (beriman kepadanya)”.
Demikian meskipun telah berada di alam barzakh namun manusia masih
akan dipertanyakan tentang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan kelak di hari kiamat, tidak ada yang paling tampak dan terlihat dari
semua makhluk Allah subhanahu wata’ala kecuali sayyidina Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian nama nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang diawali dengan huruf ‘ain (ع) diantaranya adalah عين
: ‘ain (yang paling dicintai) sebagaimana diantara maknanya adalah
mata, dimana mata adalah hal yang paling dicintai, dan memiliki makna
yang lain yang insyallallah akan kita lanjutkan pada majelis yang akan
datang.
Selanjutnya kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala semoga
Allah melimpahkan kepada kita rahmat dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat, dan senantiasa menuntun kita pada keluhuran dalam melewati
hari-hari kita, dan selalu dalam naungan nama Allah subhanahu wata’ala,
amin allahumma amin.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا ...
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ
إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ
إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ
السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا
نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ
تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.
|
No comments:
Post a Comment